Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan puluhan mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan itu. Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.
Bab 34
Gotik
AKU bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin
Syahari Noor Aziz
Panelis
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku di Bandung sekaligus pulang kampung ke Belitong. Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan. Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. Ia bertekad menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat mengembalikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu selama masa orde baru dengan konyol di-bahasa Indonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dari Jakarta yang sedang mengincar asuransi aset di provinsi baru Babel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh senada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek belanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan tapi ia berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, ia Trapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.
SEKARANG kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas-Melayu, rumah ibu Ikal.
"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?" tanya Mahar kepada ibu Ikal.