timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalinan urat di punggung tangan. Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semenamena pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa
Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan laut: sendiri, kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalam tangkupan kerang.
Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga — termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong — sebuah pulau kecil — seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti — lebih pas disebut upeti — miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis a la Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects.
Bab 6
Gedong
PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkastakasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN