Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong — karena isinya tadi ditumpahkan Sahara — dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah…,” pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu.
A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.
“Silakan ananda…,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar. Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.
“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk.”
A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.
Bab 4
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini. N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP
(Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya — K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong — untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru — lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran — mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adikadiknya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi — jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman peng-alaman lainnya.
“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat shalat.
Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan.
Анна Михайловна Бобылева , Кэтрин Ласки , Лорен Оливер , Мэлэши Уайтэйкер , Поль-Лу Сулитцер , Поль-Лу Сулицер
Приключения в современном мире / Проза / Современная русская и зарубежная проза / Самиздат, сетевая литература / Фэнтези / Современная проза / Любовное фэнтези, любовно-фантастические романы