Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum
kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit. Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak-sorak kegirangan. Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:
Lalu persis di bawah matahari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya: menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata kata yang begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibuibu kami. Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
Анна Михайловна Бобылева , Кэтрин Ласки , Лорен Оливер , Мэлэши Уайтэйкер , Поль-Лу Сулитцер , Поль-Лу Сулицер
Приключения в современном мире / Проза / Современная русская и зарубежная проза / Самиздат, сетевая литература / Фэнтези / Современная проза / Любовное фэнтези, любовно-фантастические романы