Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang berlubang-lubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar Harapan perlahan mengembang aku me-rasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya sekotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan kita dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita.
Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kebidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuhammadiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.
Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman bea-siswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca. Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk belajar di rumah. Jika beban pekerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas kecil itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantongkantong surat dari truk. Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala, dan anti perubahan. Dari buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan astuaria. Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.
"Aku harus mendapatkan beasiswa itu!" demikian kataku dalam hati setiap berada di depan kaca.
Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot. Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlangsung selama berbulan-bulan, diawali dengan sebuah tes penyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.
"Disgusting habit!" Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.
Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama kalinya, berdasi, memakai sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah men-jadi tipikal orarig muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan sesungguhnya.