Читаем Laskar Pelangi полностью

Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu. Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi. Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan lainnya.

Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.

Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lintang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.

Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdiri di atas tanah semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum...! Bum ...! Bum...! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku. Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbuikan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak. Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.

"Einstein's simultaneous relativity ...," katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir, Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.

Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang. Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum!

Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah. Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu membuatku tercengang.

"Paradoks...," kataku.

"Relatif ...," kata Lintang tersenyum. Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuperkirakan sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.

"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif," sanggah Lintang.

"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya — relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksi-oma pertama teori relativitas yang melambungkan Eins-tein."

Перейти на страницу:

Все книги серии Laskar Pelangi

Похожие книги

Вдребезги
Вдребезги

Первая часть дилогии «Вдребезги» Макса Фалька.От матери Майклу досталось мятежное ирландское сердце, от отца – немецкая педантичность. Ему всего двадцать, и у него есть мечта: вырваться из своей нищей жизни, чтобы стать каскадером. Но пока он вынужден работать в отцовской автомастерской, чтобы накопить денег.Случайное знакомство с Джеймсом позволяет Майклу наяву увидеть тот мир, в который он стремится, – мир роскоши и богатства. Джеймс обладает всем тем, чего лишен Майкл: он красив, богат, эрудирован, учится в престижном колледже.Начав знакомство с драки из-за девушки, они становятся приятелями. Общение перерастает в дружбу.Но дорога к мечте непредсказуема: смогут ли они избежать катастрофы?«Остро, как стекло. Натянуто, как струна. Эмоциональная история о безумной любви, которую вы не сможете забыть никогда!» – Полина, @polinaplutakhina

Максим Фальк

Современная русская и зарубежная проза
Последний
Последний

Молодая студентка Ривер Уиллоу приезжает на Рождество повидаться с семьей в родной город Лоренс, штат Канзас. По дороге к дому она оказывается свидетельницей аварии: незнакомого ей мужчину сбивает автомобиль, едва не задев при этом ее саму. Оправившись от испуга, девушка подоспевает к пострадавшему в надежде помочь ему дождаться скорой помощи. В суматохе Ривер не успевает понять, что произошло, однако после этой встрече на ее руке остается странный след: два прокола, напоминающие змеиный укус. В попытке разобраться в происходящем Ривер обращается к своему давнему школьному другу и постепенно понимает, что волею случая оказывается втянута в давнее противостояние, длящееся уже более сотни лет…

Алексей Кумелев , Алла Гореликова , Игорь Байкалов , Катя Дорохова , Эрика Стим

Фантастика / Современная русская и зарубежная проза / Постапокалипсис / Социально-психологическая фантастика / Разное