FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran. Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium. Konfigurasi ini menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu. Sebelum menyerbu filicium, serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze. Melangak-longok ke sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan nama hanging pada nama gaulnya itu. Jika keadaan sudah aman kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan. Pelajaran moral nomor tiga: jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.
Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar. Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium, menikmati setiap gigitan buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya.... Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun akan membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya pada kulit filicium yang seperti handuk kering. Mereka kemudian akan turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis. Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit filicium. Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut... kut... kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih membosankan. Suara kut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrinasi itu.
Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena peringai coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah6, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan.
Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Pada musim hujan ia semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur telur9 beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat. Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filicium sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya.
“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di pasar.
“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah.