Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya yang lemot — Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi. Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak bisa diam. Ini menyebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia menjabat lagi.
Suatu hari dalam pelajaran budi pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab.
“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!”
Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau menyambung dengan lantang.
“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ....”
Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.
“Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”
Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit.
Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin melukai hatinya. Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan selugas itu dari muridnya, tapi beliau maklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguhsungguh dan saling merahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat. Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir.
Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru.
Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri kelihatan gugup. Beliau membuka gulungan pertama.
“Borek!” teriak Bu Mus.
Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan.
“Kucai!”
Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga.
“Kucai!”
Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.
“Kucai!”
Kertas kelima.
“Kucai!”
Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani.
Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjangnya dan berteriak pasti.
“Kucai ...!”
Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka.