“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak-anak SD PN nanti?” jawab Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anakanak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami. Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.
Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah, beliau juga rentan pada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim. Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus. Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda dengan keramba.
Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin.
Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi.
Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara. Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai.
Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan sok tahu. Kucai memiliki network yang luas. Ia pintar bermain kata-kata. Kalau hanya perkara perselisihan peneng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga, serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya adalah nilainilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang diperhalus.