Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena ia mengerahkan segenap kekuatannya, membuatku meronta-ronta. Aku paham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC. Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang. Itu idenya.
Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi menyiksaku.
Yang aku rasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paruparu, limpa, berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam itu.
“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada khasiatnya!”
Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka!
Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu mengerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.
Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa. Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di dalam bu18bu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengaisngais putus asa seperti banteng bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat-kuat-nya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd tahun ’76. Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami. Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi selangkangnya, lalu manusia Hercules itu pun tumbang berdebam di atas tanah.
Di dadaku melingkar tanda bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemahatololan. Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila.
“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih.
“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatapku seeperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.
“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5. Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.”
Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif. Aku malu sudah bertindak konyol.
Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang seperti orang pengkor, badannya yang besar membuat ia tampak seperti King Kong.